Oleh : Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
Ketika berusia 12 tahun, Rasulullah saw diajak pamannya, Abu Thalib
pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Pada waktu kafilah di Bashra,
mereka melewati seorang pendeta bernama Bahira. Ia adalah seorang
pendeta yang banyak mengetahui injil dan ahli tentang masalah-masalah
kenasranian.
Kemudian Bahira melihat Nabi saw. Lalu ia mulai mengamati Nabi dan
mengajak berbicara. Kemudian Bahira menoleh kepada Abu Thalib dan
menanyakan kepadanya, “Apa status anak ini di sisimu?”
“Anakku (Abu Thalib memanggil Nabi saw dengan panggilan anak karena kecintaannya yang mendalam),” jawab Abu Thalib.
“Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup,” tanya Bahira kepadanya.
“Dia adalah anak saudaraku,” kata Abu Thalib.
“Apa yang telah dilakukan oleh Ayahnya?” tanya Bahira.
“Dia meninggal ketika Ibu anak ini mengandungnya,” jawab Abu Thalib.
Bahira berkata, “Anda benar, bawalah dia pulang ke negerinya, dan
jagalah dia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya di sini,
pasti akan dijahatinya. Sesungguhnya anak saudaramu ini akan memegang
perkara besar.” Kemudia Abu Thalib cepat-cepat membawa kembali ke
Makkah.
Memasuki masa remaja, Rasulullah saw mulai berusaha mencari rezeki
dengan mengembalakan kambing. Rasulullah saw pernah bertutur tentang
dirinya. “Aku dulu mengembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah
beberapa qirath.” Selama masa mudanya Allah telah memeliharanya dari
penyimpangan yang biasanya, dilakukan oleh para pemuda seusianya,
seperti berhura-hura dan permainan nista lainnya. Bertutur Rasulullah
tentang dirinya :
“Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan di
masa jahiliyah kecuali dua kali. Itu pun kemudian dicegah oleh Allah.
Setelah itu aku tidak pernah menginginkannya sampai Allah memuliakan aku
dengan risalah. Aku pernah berkata kepada seorang teman yang
menggembala bersamaku di Makkah, “Tolong awasi kambingku, karena aku
akan memasuki kota Makkah untuk begadang sebagaimana para pemuda.” Kawan
tersebut menjawab, “Lakukanlah.” Lalu aku keluar.
Ketika aku sampai pada rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian, lalu aku berkata, “Apa ini?”
Mereka berkata, “Pesta.”
Lalu aku duduk mendengarkannya. Tetapi kemudian Allah menutup
telingaku, lalu aku tertidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh panas
matahari. Kemudian aku kembali kepada temanku, lalu ia bertanya
kepadaku, dan aku pun mengabarkannya. Kemudian pada malam yang lain aku
katakan kepadanya sebagaimana malam pertama. Maka aku pun masuk ke
Makkah, lalu mengalami kejadian sebagaimana malam terdahulu. Setelah itu
aku tidak pernah lagi menginginkan keburukan.”
Hadist Bahira tentang Rasulullah saw, yakni hadist yang diriwayatkan
oleh Jumhur Ulama’ Sirah dan para perawinya, dan dikeluarkan oleh
Tirmidzi secara panjang lebar dari hadist Abu Musa al-Asy’ari,
menunjukkan bahwa para ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani memiliki
pengetahuan tentang bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini
mereka ketahui dari berita kenabiannya dan penjelasan tentang
tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam Taurat dan Injil.
Dalil tentang hal ini banyak sekali.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh para Ulama Sirah,
bahwa orang-orang Yahudi biasa memohon kedatangan Nabi saw (sebelum
bi’tsah) untuk mendapatkan kemenangan atas kaum Aus dan Khazraj, dengan
mengatakan “Sesungguhnya sebentar lagi akan dibangkitkan seorang Nabi
yang kami akan mengikutinya. Lalu kami bersamanya akan membunuh kalian
sebagaimana pembunuhan yang pernah dialami kaum ‘Aad dan Iram.” Ketika
orang-orang Yahudi mengingkari janjinya, Allah menurunkan firmanNya :
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir,
maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar
itu.” (Al-Baqarah : 89).
Al Qurtubi dan lainnya meriwayatkan, bahwa ketika turun firman Allah :
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami berikan Al-Kitab
(Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak sendiri.
Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah : 146).
Umar bin Khaththab bertanya kepada Abdullah bin Salam (seorang ahli
kitab yang telah masuk Islam) : “Apakah kamu mengetahui Muhammad saw
sebagaimana kamu mengetahui anakmu?” Ia menjawab, “Ya, bahkan lebih
banyak. Allah mengutus (Malaikat) kepercayaan-Nya di bumi dengan
sifat-sifatnya, lalu saya mengetahuinya. Adapun anak saya, maka saya
tidak mengetahui apa yang telah terjadi dari ibunya.”
Bahkan keislaman Salman al-Farisi juga disebabkan ia telah melacak
berita Nabi saw dan sifat-sifatnya dari Injil, para pendeta dan ulama
al-Kitab. Ini tidak dapat dinafikan oleh banyaknya para ahli Kitab yang
mengingkari adanya pemberitaan tersebut, atau oleh tidak adanya isyarat
penyebutan Nabi saw di dalam Injil yang beredar sekarang. Sebab,
terjadinya pemalsuan
dan perubahan secara beruntun pada kitab-kitab
tersebut telah diketahui dan diakui oleh semua pihak.
Maha Benar Allah yang berfirman di dalam kitab-Nya : “Dan di antara
mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali
dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan
yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan mereka
sendiri, lalu dikatakannya “ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk
memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka
sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka
kerjakan.” (Al-Baqarah : 78-79).
***