Oleh : Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
Ka’bah adalah “rumah” yang pertama kali dibangun atas nama Allah,
untuk menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para
Nabi, Ibrahim as, setelah menghadapi “perang berhala” dan penghancuran
tempat-tempat peribadatan yang di dirikan di atasnya. Ibrahim as
membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah :
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah
beserta Ismail (seraya berdoa), “Ya Rabb kami, terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Al-Baqarah : 127).
Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang
mengakibatkan kerapuhan bangunannya. Diantaranya adalah serangan banjir
yang menenggelamkan Makkah beberapa tahun sebelum bi’tsah, sehingga
menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orang-orang Quraisy
harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian
bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan
“sisa” atau peninggalan dari syari’at Ibrahim as yang masih terpelihara
di kalangan orang Arab.
Rasulullah saw sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangunan
Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta aktif mengusung batu di atas
pundaknya. Pada waktu itu Rasulullah saw berusia 35 tahun, menurut
riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari hadist Jabir bin
Abdullah ra, ia berkata : Ketika Ka’bah dibangun, Nabi saw dan Abbas
pergi mengusung batu. Abbas berkata kepada Nabi saw, “Singkirkan kainmu
di atas lutut.” Kemudian Nabi saw mengikatnya.
Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang
timbul akibat perselisihan antar kabilah tentang siapa yang berhak
mendapatkan kehormatan meletakkan hajar aswad di tempatnya. Semua pihak
tunduk pada usulan yang diajukan Nabi saw, karena mereka mengenalnya
sebagai Al-Amin (terpercaya) dan mencintainya.