“Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (6) (yaitu)
penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi (7) Yang belum
pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain (8)Dan
kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah (9) Dan kaum Fir’aun yang
mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak) (10) Yang berbuat sewenang-wenang
dalam negeri (11) Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu (12)
Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (13).”
(QS. Al-Fajr: 6-13).
Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan, “Success can lead to
arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we
stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will
ultimately fail.” ( Sukses bisa
membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika
kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus
berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah,
maka kita akan gagal ).
Itulah sisi negatif dari
kesuksesan, yakni arogansi. Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling
hebat, paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yang lainnya
bahkan Tuahanpun ditentang. Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa
saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, Keluarga, dan orang biasa.
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada
para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (11) Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu
untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya
lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah” (12) Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga
itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke
luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina” (13).” (QS.
Al-A’raf: 11-13).
Orang sukses lalu bersombong ria
sebenarnya patut disayangkan. Bayangkan saja, saat berjuang keras menggapai
kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan.
Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan,
mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu.
Sayang sekali, saat kesuksesan
datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil
mencapai yang terbaik. Sekarang, Andalah yang harus mendengarkan saya. Saya
tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah lagi ketika mereka
dikelilingi oleh para ‘yes man’ yang tidak berani angkat bicara soal kekurangan
orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’ , pongah, angkuh,
dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar
lagi.
Ada Seorang Pebisnis, dia
menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yang mengharukan
sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong jembatan saat tiba di Jakarta
ketika remaja. Dengan susah payah dia merangkak dari bawah untuk bertahan
hidup. Menikah tanpa uang sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan
tetapi, dia tidak patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses,
mencontoh, dan memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga
pabrik besar ada di genggamannya.
Namun, sayang sekali. Perusahan
itu sedang diterpa badai masalah internal. Pemicunya tak lain adalah sikap
pemimpin yang arogan. Dia otoriter dan antikritik. “Kalau saya bisa, kalian
juga harus bisa,” katanya pongah. Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola
perusahaan dengan serampangan. Turn over karyawan pun tinggi. Sisanya hanya
kelompok para ‘penjilat’ yang tidak berani melawan. Dia menginginkan anak
buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yang perlu up date diri dengan
training.
Arogansi bisa menghampiri siapa
saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, Ayah, Ibu yang tiap hari
memberi sesuatu bagi orang lain.
Dari situ, kita belajar banyak
untuk hati-hati. Kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self
centered serta tidak mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok
Mao, Hitler, ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk
kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme
mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan
ketika sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan
antipembaruan. Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan
dari tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yang begitu besar dan
terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap sikap dan pikiran
para pemimpin mereka.
Terjebak retorika Namun, itulah yang terjadi
apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari,
lingkungannya terus belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek
di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yang dia peroleh lama-kelamaan menjadi
basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di
belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yang itu-itu saja
alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan
jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di
sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.
Jadi, bagaimanakah agar
kesuksesan kita tidak berubah menjadi arogansi?
Pertama- Aware (sadar) dengan
sikap dan tingkah laku kita selalu.
Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi
waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah
sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat
banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain?
Apalagi orang-orang yang telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang,
apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu
respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.
Seseorang dikatakan berhasil
bukan sekedar ia sukses akan tetapi ketika orang lain mengatakan ia berhasil
dan turut merasakan keberhasilan yang pernah diraihnya. Jadi keberhasilan
dikatakan sempurna jika lingkungan sekitar mengatakan ia berhasil dengan cara
yang benar dan mereka merasakan berkahnya. Namun sering kali kita lupa untuk intropeksi
diri, yang membuat diri ini tumbuh dalam kekurangan rasa emosional dan
spiritual.
Kedua- Waspadai umpan balik yang
hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan
orang di sekeliling kita yang hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani
memberikan masukan yang baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi
perkembangan, sesukses apa pun kita.
Pada dasarnya, setiap orang senang dipuji.
Bahkan mereka rela mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk dipuji. Namun
pujian yang berlebihan justru dapat membuat seseorang semakin jatuh dalam
kesombangannya dan ketidakmampuan dirinya melihat kenyataan dalam hidupnya Ketiga- Awasi dan peka dengan
perubahan yang terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita
harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang
lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan
dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri
paling hebat dan lupa belajar.
Keempat- Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.
Sahabat, bentuk arogansi dan keangkuhan adalah symbol dari Iblis dan Fir’aun
yang setelah mencapai puncak kesuksesan dan kekuasaan, dia kemudian mengangkat
dirinya sederajat dengan Tuhan, dan apakah kesudahannya ? BINASA DI DUNIA,
NERAKA DI AKHIRAT !
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas
(17) Dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri (dari kesesatan)”(18) Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu
agar supaya kamu takut kepada-Nya?”(19) Lalu Musa memperlihatkan
kepadanya mu’jizat yang besar (20) Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai
(21) Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa) (22) Maka
dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya (23)
(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (24) Maka
Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia (25).”
(QS. An-Nazi’at: 17-25).
“Kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda
(kebesaran) Kami, dan bukti yang nyata (45) Kepada Fir`aun dan
pembesar-pembesar kaumnya, maka mereka ini takabur dan mereka adalah
orang-orang yang sombong (46) Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya
kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil)
adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”(47) Maka
(tetaplah) mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk
orang-orang yang dibinasakan (48).” (QS. Al-Mukminun: 45-48).