" Ridha Ilahi "
Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai.
Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai
Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik.
Saya melakukan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk
itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa; saya hanya ingin
tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan
kepada-Nya!”
“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa
dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan
pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat,
puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang
dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia
kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang
saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu
berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa
berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.”
Mendengar itu si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran
mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.
“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan
persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku
pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun
yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus.
Akhirnya nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat.
Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.
Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan demikian: “Orang
yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh
anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh.
Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang
Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku
senang kepadanya.”
Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha
dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu
berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami
kesulitan, kita berusaha keras untuk mengatasinya—lahir dan batin, lalu
kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa
berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewajiban untuk
melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah
kepada-Nya sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa
tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?”
“Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak,”
firman Tuhan (Al-Qur’an 74: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu
kerjakan. Setiap kali kamu berkata seperti itu, ingatlah, belum banyak
yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat
orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh
geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak
menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan
amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih
berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia
berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia
mengejar ridha dirinya.
Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang
sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran.
Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada.
Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut
mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang
pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan
kawan-kawannya.
Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini
setelah shalat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku.
Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu,
ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk
meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena
kasih-sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang
Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”
Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan
kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa
Nabi Muhammad SAW, ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki
berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku,
ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang
Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada
tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang
memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan
kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan
Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih
luas. Aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan.
Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku.
Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali
melalui-Mu.”