Menolak Hukum Allah?
Dahulu di kota Madinah ada dua orang bersengketa, satu Muslim dan
yang lain Yahudi. Mereka ingin penyelesaian. Yang Muslim menghendaki
agar mereka berdua datang ke Ka’ab bin Al Asyraf, salah seorang pemimpin
Yahudi di Madinah. Yang Yahudi justru mengajak yang muslim agar mereka
menyelesaikan masalah di hadapan Nabi Muhamamd SAW. Akhirnya disepakati
mereka berdua minta penyelesaian kepada baginda Rasulullah SAW. Lalu
Rasulullah SAW memutuskan perkara mereka berdua. Tampaknya sang Yahudi
menang dalam perkara tersebut. Maka yang Muslim merasa hal itu kurang
adil. Dia tidak bisa menerima keputusan Rasulullah SAW.
Lalu yang Muslim mengajak Yahudi itu kepada Abu Bakar. Setelah mereka
selesai menyampaikan masalahnya, Abu Bakar berkata: “Ikutilah apa yang
telah diputuskan oleh Baginda Rasulullah SAW”.
Si Muslim tidak bisa menerimanya. Lalu mengajak yang Yahudi untuk
menemui Umar bin Khaththab. Setelah mendengar penuturan lengkap tentang
permasalahan kedua orang itu, Umar masuk ke kamarnya dan segera keluar
lagi dengan membawa sebilah pedang. Umar memukulkan pedangnya ke leher
si Muslim itu hingga dia menemui ajalnya. Sikap Umar bin Khaththab yang
tegas ini mengingatkan kita bahwa dalam perspektif aqidah memang tidak
layak bagi seorang muslim untuk menolak keputusan Rasululullah SAW. dan
mengambil alternatif yang lain. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka
sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab 36).
Dan sikap keras dan tegas Umar bin Khaththab dalam hal ini dibenarkan
oleh Allah SWT. Setelah peristiwa itu turunlah firman Allah SWT:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuh-nya.” (QS. An Nisa 65).
Memang akan menjadi persoalan besar jika tidak ada sikap yang tegas
kepada orang yang menolak keputusan Allah dan Rasul-Nya. Sebab hal itu
akan menjadikan hukum syara’ disia-siakan. Pantaslah Khalifah Abu Bakar
as Shiddiq yang sangat terkenal kehalusan budi bahasanya ternyata
bersikap tegas dalam menghadapi pembangkangan dari kalangan orang-orang
yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Khalifah tidak bisa menerima
orang yang menyatakan loyal kepada pemerintahannya, tetap setia
menjalankan shalat, tapi menolak membayar zakat. Shalat lima waktu
hukumnya wajib, zakat pun hukumnya wajib. Tidak boleh dibedakan. Maka
dengan tegas Khalifah mengatakan: “Kalau sekiranya mereka menolak
membayar anak unta (zakat) yang mereka bayarkan kepada Rasulullah. SAW.,
pasti aku akan memerangi mereka”.
Harus dipahami bahwa sikap menolak keputusan Rasulullah SAW. adalah
sikap yang berlawanan dengan aqidah Islam yang diakui seorang muslim.
Seorang muslim sudah selayaknya menerima segala keputusan Rasulullah
SAW. yang mengadili perkara mereka dengan sikap berserah diri secara
total, tanpa reserve. Dalam firman Allah SWT Surat An Nisa ayat 65
tersebut, satu penolakan saja bisa menggugurkan keimanannya dan
dikategorikan sebagai tidak beriman, alias murtad. Dan murtad itu
hukumannya adalah mati.
Bila satu hukum dibiarkan tersia-siakan, maka hukum-hukum syariah
yang lain akan mengalami nasib serupa. Berarti akan hancurlah hukum
syariah. Oleh karena itu, sikap yang ditampilkan Umar bin Khaththab r.a.
dan Khalifah Abu Bakar r.a. yang tegas terhadap orang-orang yang
menolak syariah adalah sikap kenegarawanan yang memiliki pandangan yang
sangat jauh ke depan.
Di manapun kegoncangan terhadap sistem akan selalu ada. Masalahnya
apakah sebuah sistem punya mekanisme untuk mengatasinya. Islam sebagai
dinullah yang memiliki sistem ideologi yang sempurna memiliki system dan
mekanisme untuk menjaga aqidah dan ideologi pemeluknya. Arahan Al Quran
tentang bahayanya murtad dan perlunya orang menjaga keislaman dan
ketaqwaan sampai akhir hayat dipadu dengan mekanisme hukum untuk
orang-orang yang murtad.
Sehingga bila ada yang melakukan tindakan berbahaya, yaitu murtad,
maka yang bersangkutan akan diajak diskusi hingga terbukti bahwa dia
murtad, lalu diperingatkan bahayanya murtad yang bakal menghapus seluruh
amal (QS. Al Baqarah 217). Dan diberi tempo tiga hari. Jika dia kembali
maka dimaafkan dan kembali normal. Namun jika menolak, yang
bersangkutan dihukum mati. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
mengganti agamanya maka bunuhlah”.
Jika menolak satu saja keputusan hukum yang disampaikan baginda
Rasulullah SAW sudah tergolong murtad dan layak mendapatkan hukuman
mati, bagaimana pula dengan orang-orang yang secara total menolak
syariah?
Wallahu a’lam!