Pemimpin, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
pelayan umatnya. Bukan sebaliknya, bagai “raja” yang selalu minta
dilayani
Setelah diumumkan pengangkatannya menjadi khalifah, Umar bin Abdul
Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, beliau pun tak
mau keluar menemui seorang.
Dalam kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur,
berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak
disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan cucuran air mata.
Tiga hari kemudian beliau keluar. Para pengawal menyambutnya, hendak
memberi hormat. Umar malah mencegahnya. “Kalian jangan memulai salam
kepadaku, bahkan salam itu kewajiban saya kepada kalian.”
Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.
Umar menuju ke sebuah ruangan. Para pembesar dan tokoh telah
menunggunya. Hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi
hormat. Apa kata beliau?
“Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika
kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak
berdiri di hadapan Rabbul-’Alamin.”
Itulah yang dikatakan pertama kali kepada rakyatnya.
Buka Hati
Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian.
Sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin
adalah pelayan umatnya.
Sabda Nabi itu sungguh istimewa, sebab seorang pemimpin biasanya
seperti seorang raja. Dan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi
budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan.
Ternyata Umar tidak serta merta meneruskan budaya yang sebenarnya
menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau tak mau dihormati berlebihan
dan hidup dalam kemewahan. Ia memilih sikap rendah hati dan sederhana.
Sebagai pemimpin besar, bersikap rendah hati, sederhana, dan melayani
tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang
terbuka di depan mata, siapa tak tergiur?
Di negeri kita ini, kedudukan dan jabatan malah jadi rebutan. Bahkan
banyak yang mati-matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk
mendapatkannya. Setelah berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan
adalah pesta kemenangan. Kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Sim
salabim, jadilah OKB (Orang Kaya Baru). Gaya hidup dan pergaulannya
berbeda dengan sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah memang
impiannya.
Mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup
mewah itu, apa sih sesungguhnya dicari? Dengan mobil mewah, rumah megah,
pakaian serba mahal, apa sebenarnya yang dirindukan lubuk hati? Mungkin
terdetak dorongan hidup terhormat dan dimuliakan.
Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh
kalau ada orang bercita-cita hidup hina dan direndahkan. Tetapi benarkah
kemuliaan dan kehormatan dapat dicapai dengan hidup berbungkus
kemewahan? Coba sebutkan nama-nama orang yang menggetarkan hati karena
kemuliaan dan kehormatannya. Cermati satu per satu. Benarkah hati Anda
terkesan karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada Umar. Kita tenangkan hati dan jernihkan
pikiran sejenak. Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain
kekuasaan sebagaimana raja-raja yang lain, akankah memiliki nama harum
seperti saat ini?
Mungkin saja kemewahan singgasana bisa menjadi topeng kemuliaan di
muka rakyat. Tetapi berapa lama “kemuliaan” seperti itu bisa bertahan?
Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk
kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua
tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum. Terbukti
bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang sombong.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.”
(Luqman: 18-19)
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup
melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme
semata. Maunya justru dilayani.
Ketika sedang memegang kekuasaan, yang dipikirkan adalah apa yang
dapat diambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat diberikan
pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan, seolah yang
harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah
misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang
terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam.” (Al-Anbiyaa’: 107). Dengan berbagi rahmat, tersebarlah
belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan.
Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana
karyawannya sejahtera. Karyawan pun berpikir bagaimana bisa memberikan
layanan terbaik melalui pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah yang mengasihi keluarganya
akan mengantar pada suasana sakinah. Anak-anaknya pun termotivasi untuk
meneladani dan berbakti kepada kedua orangtuanya.
Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi
menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang
pemimpin. Dan setiap kita pada hakikatnya adalah pemimpin, begitu sabda
Rasulullah.
Bila setiap orang berpikir minta dilayani, yang terjadi justru
krisis. Pemimpin minta dilayani stafnya. Majikan memeras para karyawan.
Petugas mempersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil ‘alamin,
tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat, malah dikuras
untuk bermewah-mewah diri dan kroninya. Hutan digunduli sehingga banjir
dan longsor di sana-sini. Rakyatlah yang jadi korban.
Melihat perilaku pemimpin yang seperti itu, rakyat pun ikut-ikutan
mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan, namun belum
bersyukur dan malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin.
Sungguh cara hidup yang tidak akan berujung kepada kemuliaan, tetapi
justru kehinaan. Dan inilah yang banyak disaksikan di sekeliling kita
sekarang.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Israa’: 16)
Agar mampu rahmatan lil ‘alamin, kita perlu mentransformasi diri.
Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu, harus diganti dengan
kebeningan nurani.
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan
suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan
keikhlasannya?
Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia
seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau
seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau
seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan keberkahan rendah hati. Meski
hanya menjabat dua tahun, terjadi perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang
sebelumnya buruk seketika berubah menjadi baik.
Umat akan terinspirasi pemimpin yang rendah hati dan teramat jujur
itu. Yang menjadi pembicaraan heboh saat itu di berbagai sudut kota,
warung, sampai pinggiran ladang di desa adalah masalah iman dan amal
shalih. Mungkin seheboh dunia ini ketika dihipnotis oleh perhelatan
Piala Dunia yang belum lama berakhir.
Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya.
Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir
miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima
zakat. Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan
meminta dan meminta.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi.” ( Al-A’raaf: 96)
Alam dan binatang pun digambarkan turut berbahagia. Para gembala yang
biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh serigala, saat itu
kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan dibuka Allah
bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah.
Atas prestasi gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau
digolongkan sebagai Khulafa’ Ar-Rasyidin kelima setelah Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman, dan Ali.