Khalifah Umar bin Khattab berniat menggantikan gubernur Syam yang
semula dipercayakan kepada Muawiyah. Penggantinya yang diinginkan
Khalifah adalah Said bin Amir Al-Jumahi. “Aku ingin memberimu amanah
menjadi gubernur,” kata Umar kepada Said.
Said berkata, “Jangan kau
jerumuskan aku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin. Kalian
mengalungkan amanah ini di leherku kemudian kalian tinggal aku.” Umar
mengira bahwa Said menginginkan gaji, “Kalau begitu, kita berikan
untukmu gaji.” Said menjawab, “Allah telah memberiku rizki yang cukup
bahkan lebih dari yang kuinginkan.”
Begitulah kursi gubernuran yang ditolak oleh Said dengan halus. Walau
akhirnya dia harus menunjukkan ketaatannya kepada Khalifah dengan
menaati keinginan Umar yang tetap bersiteguh untuk mengangkatnya sebagai
gubernur Syam. Akhirnya hari yang ditentukan untuk keberangkatannya ke
Syam tiba. Dari Madinah dia berangkat beserta istrinya menuju tempat
tugasnya yang baru.
Sesampainya di Syam, Said memulai hari-harinya dengan amanah baru,
menjadi gubernur Syam. Hingga suatu saat Said terlilit kebutuhan yang
memerlukan uang. Sementara tidak ada uang pribadinya yang bisa dia
pakai. Sementara itu di Madinah Umar mendapatkan tamu utusan dari Syam.
Mereka datang untuk melaporkan beberapa kebutuhan dan urusan mereka
sebagai rakyat yang hidup di bawah kekhilafahan Umar bin Khattab.
Umar berkata, “Tuliskan nama-nama orang miskin di tempat kalian.”
Mereka pun menuliskan nama-nama orang yang membutuhkan bantuan dari
negara. Tulisan itu diserahkan kepada Umar. Dengan agak terkejut, Umar
menemui sebuah nama. Said.
“Apakah ini Said gubernur kalian?”
“Ya, itu Said gubernur kami.” “Dia termasuk daftar orang-orang miskin?” tanya Umar lagi mempertegas.
“Ya,” jawab mereka meyakinkan.
Umar kemudian mengambil sebuah kantong dari kain yang terikat
ujungnya. “Berikan ini kepada gubernur kalian,” kata Umar sambil
memberikan kantong itu kepada mereka.
Rombongan itu akhirnya kembali ke Syam. Setelah sampai, mereka menyampaikan amanah dari Umar itu kepada Said gubernur mereka.
Sore harinya Said pulang ke rumah. Dia membuka kantong tersebut tanpa
sepengetahuan istrinya. Dan ternyata kantong tersebut berisi uang
seribu dinar. Jumlah yang tidak sedikit. “Innalillahi wainna ilaihi
rojiun,” katanya lirih. Ternyata istrinya mendengar perkataan tersebut.
“Apakah amirul mukminin meninggal?” tanya istrinya. “Tidak, tetapi
musibah yang lebih besar dari itu,” kata Said. “Maukah engkau
membantuku?” sambung Said. “Tentu,” jawab istrinya. “Dunia telah
memasuki diriku untuk merusak akhiratku,” kata Said.
Esok paginya, Said memanggil orang kepercayaannya untuk membagikan
uang itu kepada para janda, anak yatim dan orang miskin yang
membutuhkan. Tanpa tersisa sedikit pun. Barulah istrinya memahami
kata-kata Said, “Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku.”
Begitulah. Dan memang Said selalu berusaha untuk menjadikan dunia
yang dimilikinya untuk membeli akhirat. Agar mendapatkan bidadari surga.
Ketika suatu hari istrinya menuntut uang yang diberikan dari
kakhilafahan, sementara uang itu telah habis disumbangkan kepada orang
lain. Hingga tuntutannya itu membuat Said tersiksa. Said berusaha
menghindari istrinya beberapa hari dengan selalu pulang malam. Agar dia
tidak mendengar lagi tuntutan istrinya.
Sampai istrinya akhirnya tahu bahwa hartanya telah habis dibagikan
cuma-cuma. Sang istri menangisi kepergian harta itu. Dan inilah yang
dikatakan Said kepada istri tercintanya, “Sebenarnya istriku, dulu aku
mempunyai teman-teman yang kini telah lebih dulu meninggalkanku. Aku
tidak rela setelah mereka pergi aku bergelimang harta. Dan kemudian
bidadari surga itu jika muncul di langit dunia akan menerangi seluruh
penduduk bumi dan sinarnya itu akan memadamkan sinar matahari dan
rembulan. Pakaian yang dia pakai lebih baik daripada dunia seisinya.
Maka aku lebih memilih dirimu untuk menjadi bidadariku di surga nanti.”
Kata-kata ini membuat istrinya Said ridho.
Kehidupan seorang gubernur Said bin Amir tidak hanya terhenti sampai
tingkat kesenangannya membagikan harta. Kalau kita menengok dalam
rumahnya lebih ke dalam lagi, kita akan menjumpai kehidupan seorang
gunernur yang tak kita jumpai hari ini. Gubernur yang sangat zuhud
kepada dunia, tidak merasa begitu perlu dengan harta, maka mustahil
kalau dia rela memakan harta rakyatnya.
Inspeksi mendadak yang dilakukan Umar ke Syam akan mengantarkan kita
kepada kisah-kisah dalam rumah tangga Said. Begitu sampai Himsa, Umar
mengumpulkan penduduk kota tersebut dan bertanya, “Wahai penduduk Himsa,
bagaimana kalian mendapati gubernur kalian?” Jawaban mereka cukup
mengejutkan, “Kami mengeluhkan empat hal. Pertama, dia selalu keluar
kepada kami setelah siang datang.” “Ini berat,” kata Umar. “Kemudian
apa?” tanya Umar kembali.
“Kedua, dia tidak melayani siapa pun yang datang malam hari.”
“Ini juga masalah serius, kemudian apa lagi?”
“Ketiga, ada satu hari dalam satu bulan dimana dia tidak keluar sama sekali untuk menemui kami.”
“Ini tidak boleh dianggap enteng, kemudian yang keempat?”
“Dia terkadang pingsan ketika bersama kami.”
Mendengar aduan ini, Umar tidak bisa tinggal diam. Dia merasa perlu
untuk cepat menyelesaikan permasalahan yang timbul antara pejabatnya itu
dengan rakyatnya. Itulah pemimpin mulia yang langsung mendengar masalah
rakyatnya dan langsung memberikan solusi konkrit dan bukan pepesan
kosong serta janji memuakkan. Umar membuat pertemuan akbar antara Said
sebagai gubernur dan rakyatnya yang siap mengadili gubernur mereka.
“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya.”
Kata Umar membuka pertemuan, “Baiklah, apa yang kalian keluhkan?”
“Pertama, Said tidak keluar menemui kami kecuali setelah siang datang menjelang.”
Said angkat bicara, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak suka
menjawabnya. Aku tidak mempunyai pembantu, maka aku harus mengadoni roti
sendiri, kemudian aku tunggu sampai adonan itu mengambang dan kemudian
aku panggang hingga menjadi roti, kemudian aku wudhu dan baru keluar.’
“Terus apa lagi?”
“Kedua, Said tidak mau melayani yang datang kepadanya di malam hari.”
“Apa jawabmu, wahai Said?”
“Sesungguhnya aku tidak suka menjawabnya. Aku menjadikan siang hariku
untuk mereka dan aku menjadikan malamku untuk Allah Azza Wajalla saja.”
“Kemudian apa lagi?”
“Ada satu hari tertentu dimana dia tidak keluar sama sekali dari rumahnya.”
“Apa komentarmu?”
“Aku tidak mempunyai pembantu yang mencucikan pakaianku. Sementara
aku tidak memiliki pakaian yang lain. Maka aku mencucinya sendiri dan
aku tunggu sampai kering, selanjutnya aku keluar kepada mereka saat
sudah sore.”
“Selanjutnya apa lagi?”
“Said suka pingsan.”
“Aku menyaksikan meninggalnya Khubaib Al-Anshari di Mekah.
Kematiannya sangat tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka
menyayat-nyayat dagingnya kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang
Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah kamu rela jika Muhammad sekarang
yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, kalau
saya berada tenang dengan keluarga dan anakku, kemudian Muhammad
tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih dalam
keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku
tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa
Allah tidak mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”
Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku kepadanya.”