Seusai salam sholat jum'at di Masjid Jami' Bintaro, diminta
kesediaan jama'ah untuk mensholatkan jenazah. Jenazah diminta dibawa masuk ke dalam masjid dan ditempatkan di depan.
Ketika berdiri dan mencari shof lebih di depan yang telah ditinggalkan jama'ah
yang tidak ikut sholat jenasah, badanku terasa bergetar, "Ya Allah, aku
iri dengan jenasah ini. Engkau buat ia meninggal di hari Jum'at sehingga ia
dapat disholatkan oleh jama'ah sebanyak ini", seruku dalam hati.
Nama jenasah ini Bapak Haji Ridwan, apa amal almarhum yang membuat ia dapat
kemudahan seperti ini?
Wah, iri aku jadinya. Kita boleh iri terhadap 3 hal, pertama iri kepada orang
berilmu yang mengamalkan dan mau membagi ilmunya, kedua orang kaya yang
dermawan, dan ketiga pada orang miskin yang sabar dan mau berderma.
Entah amal apa yang membuat Pak Ridwan ini dapat keberuntungan seperti ini.
Mungkin tidak amal besar yang dihandalkan Pak Ridwan, tapi mungkin amal kecil
yang dikerjakan dengan tulus dan konsisten.
Aku jadi teringat, berapa hari yang lalu aku bertemu dua orang yang bertolak
belakang persepsi dan kebiasaannya.
Pertama seorang bapak yang gaji perbulannya diatas dua puluh dua juta rupiah
menjabat sebagai direksi di multinational corporate di Jakarta, dan satunya
seorang bapak yang gajinya hanya lima ratus ribu yang menjadi guru madrasah
ibtidayah di desa Bungah Gresik Jawa Timur.
Bapak Guru sudah naik haji, sedangkan Bapak Direksi belum naik haji.
"Bagaimana saya akan naik haji? Sekarang ini pengeluaran saya sangat banyak,
dan ditambah lagi kesibukan saya saat ini", jelas Bapak Direksi. Jika
mengetahui rincian pengeluarannya memang sangat luar biasa, contohnya biaya
listrik rumahnya saja perbulan dua juta rupiah.
Sebaliknya Bapak Guru, "Saya naik haji karena menabung setiap bulannya dua
ratus ribu rupiah".
Aku terperanjat mendengarnya karena tidak mungkin secara logika seseorang yang
sudah berkeluarga dengan gaji lima ratus ribu rupiah bisa menabung dua ratus
ribu rupiah.
"Saya seorang guru, terkadang orang tua murid membayar sekolah atau
mengirimi kami bahan makanan atau makanan sudah jadi, hal itu sering terjadi
sehingga kami bisa menghemat", urainya tentang bagaimana dia bisa
menabung.
Tidak mungkin sesederhana itu Bapak Guru mendapatkannya, ”Tugas saya sederhana,
memberikan yang terbaik dalam mendidik setiap murid saya".
Aku semakin paham perbedaan dua bapak di atas setelah semalam menonton acaranya
Mario Teguh. Ada kutipan di layar TV yang tertulis "Jika orang mencari
kebahagiaan, maka kebahagiaan ada di luar dirinya. Tapi jika orang mensyukuri
kebahagiaan maka kebahagiaan itu sudah ada dalam dirinya".
Bapak Direksi melihat hidup adalah BEBAN sehingga ia BEKERJA KERAS terus untuk
MENGATASInya.
Sedang Bapak Guru melihat hidup adalah WUJUD TANGGUNG JAWABnya sehingga ia
berusaha MEMBERI yang TERBAIK, akibatnya dia memberi dengan TULUS dan MENIKMATI
hidupnya.
Apa amal dan cara hidup Pak Ridwan mirip dengan Bapak Guru? Entahlah, tugasku
sebagai sesama muslim mensholatkan, maka sesudah mensholatkan aku ikut
mengangkat kerandanya ke mobil ambulan. Semoga Allah SWT menemukan kita
di Jannatun Na’im. Amin.
Sahabat…………, Amal yang dinilai
kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya dengan ikhlas karena Allah,
maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan
tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil
menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil
hanya karena niat.”
Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah
jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak
mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang
berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena
kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani
israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada
anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)