Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Beliau
dilahirkan di Gaza, Palestina, tahun 150 H, dan ayahnya meninggal ketika
masih bayi, sehingga beliau hanya dipelihara oleh ibunya yang berasal
dari Qabilah Azad dari Yaman. Diwaktu kecil Imam Syafii hidup dalam
kemiskinan dan penderitaan sebagai anak yatim dalam “dekapan” ibundanya .
Oleh karena itu ibunya berpendapat agar sebaiknya beliau (yang ketika
itu masih kecil) dipindahkan saja ke Makkah (untuk hidup bersama
keluarga beliau disana). Maka ketika berusia 2 tahun beliau dibawa
ibundanya pindah ke Makkah.
Imam Syafi’i rahimahullah dilahirkan bertepatan dengan meninggalnya
Imam Abu Hanifah oleh karena itu orang-orang berkata : “telah meninggal
Imam dan lahirlah Imam”. Pada usia 7 tahun beliau telah menghafal Al
Qur’an. Dan suatu sifat dari Imam Safi’i adalah, jika beliau melihat
temannya diberi pelajaran oleh gurunya
, maka pelajaran yang dipelajari
oleh temannya itu dapat beliau pahami. Demikian pula jika ada orang yang
membacakan buku dihadapan Imam Syafi’i, lalu beliau mendengarkannya,
secara spontan beliau dapat menghafalnya. Sehingga kata gurunya :
“Engkau tak perlu belajar lagi di sini (lantaran kecerdasan dan
kemampuan beliau untuk menyerap dan menghafal ilmu dengan hanya
mendengarkan saja)”.
Setelah beberapa tahun di Makkah, Imam Syafi’i pergi ke tempat Bani
Hudzail dengan tujuan untuk belajar kepada mereka. Bani Hudzail adalah
Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Beliau tinggal di tempat
Bani Hudzail selama 17 tahun. Ditempat ini beliau beliau banyak
menghafal sya’ir-sya’ir, memahami secara mendalam sastra Arab dan
berita-berita tentang peristiwa yang dialami oleh orang-orang Arab
dahulu.
Pada suatu hari beliau bertemu dengan Mas’ab bin Abdullah bin Zubair
yang masih ada hubungan famili dengan beliau. Mas’ab bin Abdullah
berkata : “Wahai Abu Abdullah (yaitu Imam Syafi’i), sungguh aku
menyayangkanmu, engkau sungguh fasih dalam berbahasa Arab, otakmu juga
cerdas, alangkah baiknya seandainya engkau menguasai ilmu Fiqih sebagai
kepandaianmu.” Imam Syafi’i : “Dimana aku harus belajar?” Mas’ab bin
Abdullah pun menjawab : “Pergilah ke Malik bin Anas”. Maka beliau pergi
ke Madinah untuk menemui Imam Malik. Sesampainya di Madinah Imam Malik
bertanya : “Siapa namamu?”. “Muhammad” jawabku. Imam Malik Berkata lagi :
“Wahai Muhammad bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah laranganNya maka
engkau akan menjadi orang yang disegani di kemudian hari”. Esoknya
beliau membaca al Muwaththa’ bersama Imam Malik tanpa melihat buku yang
dipegangnya, maka beliau disuruh melanjutkan membaca, karena Imam Malik
merasa kagum akan kefasihan beliau dalam membacanya.
Al Muwaththa’ adalah kitab karangan Imam Malik yang dibawa beliau
dari seorang temannya di Mekkah. Kitab tersebut beliau baca dan dalam
waktu 9 hari, dan beliau telah menghafalnya.Beliau tinggal di Madinah
sampai Imam Malik meninggal dunia, kemudian beliau pergi ke Yaman.
Kunjungan Imam Syafi’i Keberbagai Tempat Sudah menjadi kebiasaan
ulama’-ulama’ pada masa Imam Syafi’i yaitu berkunjung ke berbagai negeri
untuk menimba ilmu di tempat tersebut. Mereka tidak perduli terhadap
rintangan-rintangan yang akan mereka hadapi. Demikian pula Imam Syafi’i
berkunjung ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dengan sungguh-sungguh
dan memperoleh manfaatnya. Sebagaimana yang telah diketahui tentang
perjalanannya dari Mekkah ke Bani Hudzail, kemudian kembali ke Mekkah
dan perjuangannya untuk menemui Imam Malik, dan setelah meninggalnya
Imam Malik beliau pergi keYaman dan selanjutnya pergi ke Baghdad dan
kembali ke Madinah , dan setelah itu kembali lagi ke Baghdad kemudian ke
Mesir.
Kunjungan-kunjungan itu menghasilkan banyak ilmu dan pengalaman
baginya serta membuatnya gigih dalam menghadapi berbagai rintangan dalam
membela kebenaran dan membela Sunnah Rasulullah saw. Sehingga namanya
menjadi terkenal dan disegani umat Islam di zamannya.
Imam Ahmad Bin Hambal berkata tentang gurunya Imam Syafi’i rahimahullah telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Inna Allaha yub’astu lihadzihil ummah ‘ala ra’si kulla miati sanatin man yujaddidu laha diinaha”
“Sesungguhnya Allah swt mengutus (mengirim) seseorang kepada umat ini
setiap seratus tahun untuk memperbarui urusan agamanya”. (shahih sunan
Abu daud hadits no : 4291)
Kemudian Imam Ahmad bin Hambal menambahkan dengan berkata : “Umar bin
Abdul Aziz adalah orang yang pertama dan mudah-mudahan Imam Syafi’i
adalah yang kedua”.
Ilmu Yang Dimiliki Oleh Imam Syafi’i rahimahullah Imam Syafii
rahimahullah memiliki ilmu yang luas seperti yang dikatakan Ar Rabbii
bin Sulaiman : “Setiap selesai shalat shubuh Imam Syafi’i selalu duduk
dikelilingi orang-orang yang ingin bertanya tentang tafsir Al Qur’an.
Dan seandainya matahari telah terbit, barulah orang-orang itu berdiri
dan bergantian dengan orang-orang lain yang ingin bertanya juga tentang
hadits, serta tafsirnya. Beberapa jam kemudian ganti orang-orang lain
untuk bertanya-jawab. Dan sebelum waktu dhuhur mereka pergi disusul oleh
orang-orang yang bertanya tentang nahwu, urudh dan syai’r sampai waktu
dhuhur”. Mas’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata : “Aku belum pernah
melihat seseorang yang lebih mengetahui peristiwa tentang orang-orang
Arab dahulu seperti Imam Syafi’i”. Abu Isma’il At Tarmudzi juga berkata :
“Aku perna mendengar Ishak bin Rahawih berceritra : “ketika kami berada
di Makkah Imam Bin Hambal rahimahullah, berkata kepadaku : “Wahai abu
Ya’kub belajarlah kepada orang ini ”Seraya memandang Imam Syafi’i””.
Kemudian aku berkata : “Apa yang akan aku peroleh dari orang ini,
sementara usianya hampir sama dengan kita? Apakah aku tidak merugi
seandainya meninggalkan Ibnu Uyainah dan Mugni?”. Imam Ahmad pun
menjawab : “Celaka engkau! Ilmu orang-orang itu dapat engaku tinggalkan
tapi Ilmu orang ini tidak dapat”. Lalu aku belajar padanya.
Imam Ahmad bin hambal menambahkan tentang Imam Syafi’I, adalah beliau
orang yang paling paham (pengetahuannya) tentang Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saw.
Kesederhanaan Dan ketaatan Imam Syafi’i Pada Kebenaran Al Imam
Syafi’i rahimahullah terkenal akan kesederhanaan dan (ketaatan) dalam
menerima kebenaran. Hal ini telah dibuktikan dalam diskusi-diskusi dan
tadarus-tadarusnya serta pergaulan murid-murid, teman-teman dan orang
umum. Banyak orang yang telah meriwayatkan sifat-sifat yang telah
dimilikioleh Imam Syafi’i yang seolah-olah sifat itu hanya dimiliki oleh
beliau saja.
Al Hasan bin Abdul Aziz Al Jarwi Al Masri (dia adalah Abu Ali Al
Judzami, guru Syeikh Al Bukhari yang meninggal di Baghdad pada tahu 257
H) berkata : “As Syafi’i mengatakan : “tidak pernah terbesit dalam
hatiku agar seseorang bersalah bila berdiskusi denganku, malah aku
menginginkan agar semua ilmu yang kumiliki juga dimiliki oleh semua
orang tanpa menyebut namaku””.
Dan Ar Rabii berkata : “Ketika aku mengunjungi As Syafi’i sakit,
beliau masih sempat menyebutkan buku-buku yang telah ditulisnya dan
berkata : “Aku ingin semua orang membacanya tanpa mengkaitkanya dengan
namaku””.
Harmalah bin Yahya juga mengatakan : “Aku pernah mendengar As Syafi’i
berkata : “Aku ingin setiap ilmu yang kumiliki, dimiliki oleh semua
orang dan aku mendapatkan pahalanya tanpa ucapan terima kasih dari
orang-orang itu”.” Beliau juga mengatakan demikian :
“Idza wajadtum fii kitaabii khilafa sunnati rasulillahi sallallahu
‘alaihi wasallam, fakuuluu sunnati rasulillahi sallallahu ‘alaihi
wasallam, wa da’uu ma kultu”
“jika kalian mendapati dalam kitabku (suatu tulisan) yang menyelisihi
sunnah Rasulullah saw , maka ambillah sunnah Rasulullah saw dan
tinggalkan perkataanku.
Dan beliau juga berkata :
“Idza sohhal hadits fahuwa madzhabii”
“jika hadits Nabi saw (derajatnya) shahih, maka itulah madhabku”
“Kullu haditsin ‘anin nabi saw fahuwa kaulii, wain lam tasma’uu minni”
“setiap hadits dari Nabi saw adalah pendapatku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkan dariku”
“Kullu maa kultu, fakaana ‘aninnabiyyi khilafu kaulii mimma yashihhu, fahadtsun nabiyyi awlaa, falaa tukalliduunii”
“segala pendapat yang aku katakan ,sedangkan hadits Nabi saw yang
shahih menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi saw lebih utama (untuk
diikuti) , dan janganlah kalian taklid kepadaku”.
Imam Syafi’i rahimahullah sendiri berkata : “Demi Allah aku belum
pernah berdiskusi dengan seseorang kecuali dengan tujuan nasihat”.
Seandainya aku menyampaikan tentang kebenaran kepada seseorang dengan
bukti-bukti yang tepat, lalu diterima dengan baik, maka aku akan menjadi
sayang dan akrab dengan orang tersebut. Sebaliknya jika orang tersebut
sombong dan membantah bukti-bukti tadi, maka seketika itu juga orang
tersebut jatuh dalam pandanganku”.
Dan beliau juga berkata : “ketahuilah bahwa perbuatan yang terberat
itu ada tiga : “Memiliki harta sedikit tetapi dermawan. Takut kepada
Allah swtdalam kedaaan sepi, dan mengatakan kebenaran kepada orang yang
diharapkan serta ditakuti banyak orang”.
Ketaatannya Dan Ibadahnya Kepada Allah swt. Tentang ketaatan Imam
Syafii dan ibadahnya kepada Allah, semua orang yang bergaul dengannya,
guru maupun murid, tetangga maupun teman, semuanya mengakuinya.
Ar Rabii bin Sulaiman mengatakan : “Imam Syafii telah mengkhatamkan
Al Qur’an sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan yang kesemuanya itu terbaca
dalam shalatnya”. Dan Imam Syafii pernah berkata kepadaku : “Semenjak
usia 16 tahun aku belum pernah merasa kenyang, kecuali hanya sekali
saja. Karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati dan dapat
menghilangkan kecerdasan, mendatangkan rasa kantuk serta membuat malas
seseorang untuk beribadah”.
Rabii juga mengatakan bahwa Syafi’i membagi malam menjadi tiga
bagian, bagian pertama untuk menulis, bagian kedua untuk shalat dan
bagian ketiga untuk tidur.
Kedermawanannya Imam Syafi’i rahimahullah terkenal dengan
kedermawanannya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diragukan lagi.
Muhammad bin Abdullah Al Misri berkata : “Imam Syafii adalah orang yang
paling dermawan terhadap apa yang dimilikinya”.
Dan Amr bin Sawwad As Sarji berkata : “Imam Syafii adalah orang yang
paling dermawan dalam hal keduniaan. Beliau pernah berkata kepadaku :
“Aku pernah bangkrut sebanyak tiga kali dalam hidupku, sampai aku
menjual semua barang-barang yang aku miliki, baik yang mahal maupun yang
murah, juga perhiasan anak dan istriku tetapi aku belum pernah
menggadaikannya””.
Muhammad Al Busti As Sajastani juga mengatakan : “Imam Syafi’i
rahimahullah belum pernah menyimpan sesuatu karena kedermawanannya”. Al
Humaidi juga berkata tentang Syafi’i ketika beliau datang dari Makkah,
Imam Syafii membawa uang sebanyak 10.000 dinar, kemudian bermukim di
pinggiran kota Makkah, dan dibagi-bagikan uang itu kepada orang yang
mengunjunginya. Dan ketika beliau meninggalkan tempat itu uangnya sudah
habis.
Ar Rabbii’ menambahkan tentang hal ini : “Seandainya Imam Syafi’i
didatangi oleh seseorang untuk meminta kepadanya, maka wajahnya merah
karena malu kepada orang tersebut, lalu dengan cepat dia akan
memberinya”.
Bukti-bukti tentang kedermawanan Imam Syafi’i rahimahullah banyak
sekali dan tidak mungkin untuk mengungkapkannya di dalam lembaran yang
pendek ini.
Wafatnya Imam Syafi’i rahimahullah Di Mesir (Di Fisthath) Tahun 204 H
Al Muzni berkata ketika aku mengunjungi beliau yang sakit yang tidak
lama kemudian beliau meninggal, aku bertanya kepadanya bagaimana
keadaanmu? Beliau menjawab : “Tidak lama lagi aku akan meninggalkan
dunia ini, meninggalkan saudara-saudaraku dan akan menjumpai Allah swt.
Aku tidak tahu apakah aku masuk surga atau neraka”. Kemudian beliau
menangis dan mengucapkan sebuah sya’ir
“Falamma kosaa kalbii wa dookot madzahidii
ja’altu rajaai nahwa ‘afwika sullamaa”
“ketika hatiku membeku dan menyempit semua jalan bagiku,
aku jadikan harapanku sebagai tangga untuk menuju ampunanMu”.
Rabii’ bin Sulaiman berkata : “Al Imam Syafi’i meningl dunia pada
malam jum’at, sehabis isya’ akhir bulan Rajab. Kami menguburkannya pada
hari jum’at, dan ketika kami meninggalkan pemakaman itu kami melihat
bulan (hilal) Sya’ban 204”.
Ar Rabbii’ bercerita : “Beberapa hari setelah berpulangnya Imam
Syafi’i rahimahullah ke Rahmatullah dan ketika itu kami sedang duduk
berkeliling seperti tatkala Imam Syafi’i masih hidup, datang seorang
badui dan bertanya : “Dimana matahari dan bulan (yaitu Imam Syafi’i)
yang selalu hadir di tengah-tengah kalian?” kami menjawab : “Beliau
telah wafat” kemudian orang itu menangis tersedu-sedu seraya berkata :
“Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya, sesungguhnya beliau dengan
kata-kata yang indah telah membuka bukti-bukti yang dahulu tidak pernah
kita ketahui. Dan mampu membuat bungkam musuh-musuhnya dengan bukti
yang benar. Serta telah mencuci besih wajah-wajah yang menghitam karena
aib dan membuka pintu-pintu yang dulu tertutup dengan
pendapat-pendapatnya”. Setelah berucap kata-kata itu dia meninggalkan
tempat itu”.
Ibnu Khollikan (penulis buku Wafiati A’yan) berkata : “Seluruh ulama’
hadits, fiqhi, usul, lughah, nahwu dan lain-lain sepakat bahwa Al Imam
Syafi’i rahimahullah adalah orang yang tidak diragukan lagi
kejujurannya, amanatnya, adilnya, zuhudnya, taatnya, akhlaqnya,
kedermawannya dan kewibawaannya dikalangan para ulama’”.
Abu Hasan Al Razi berkata : “Aku belum pernah melihat Muhammad Al
Hasan mengagungkan seorang ulama’ seperti dia mengagungkan Al Imam
Syafi’i rahimahullah.”.
Abdullah din Ahmad bin Hambal betanya kepada ayahnya : “Ayah,
bagaimana Imam Syafi’i itu? Aku sering kali melihatmu mendoakannya”.
Imam Ahmad bin hambal menjawab : “ketahuilah anakku, bahwa Imam
Syafi’i itu ibarat matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia.
Seandainya keduanya itu tidak ada, bagaimana mungkin dapat digantikannya
dengan yang lain?”.
Hidup Mulia atau Mati Syahid!!!