" Dimanakah Allah??? "
Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba.
Jumlah domba yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun
dia bekerja tanpa pernah mengeluh meski hasil jerih payahnya tak
seberapa.
Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah
menempuh perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut,
gembiralah hati musafir itu. Sang musafir meminta minum kepada si pemuda
penggembala tersebut. Namun, pemuda itu menjawab bahwa dirinya tak
punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.
Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil
air susu dari seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda
tersebut menolak dengan halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku
sangat haus. Izinkan aku untuk memerah dombamu sekadar beberapa teguk
untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir. Pemuda itu menjawab,
“Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani mengizinkan engkau
sebelum majikanku mengizinkannya.”
Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar.
Kucarikan telaga dan kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian,
pergilah pemuda tersebut mencarikan air untuk sang musafir. Setelah
dapat, diberikannya air itu kepada si musafir. “Alhamdulillah, segar
sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak muda,”
lanjut musafir itu.
Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang
semakin terik. “Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada
pemuda tadi. “Maaf, saya sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu
tercengang mendengar pengakuan pemuda tersebut. “Matahari semakin
tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir itu penuh tanya.
Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah menaungi
diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”
Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan
sang pemuda penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak
muda, bolehkah aku membeli seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah
aku.”
“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.
“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah
tuanmu tidak akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat
lapar, tolonglah aku,” rayu musafir tersebut.
“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu
akan kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk
melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.
“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham
untukmu untuk seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?”
kata musafir itu yakin bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap
seribu dirham.
Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir itu tambah gusar dan marah.
Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau
aku menjual seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan
mungkin saja, majikanku tidak akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak
akan rugi meski aku menjual seekor di antara domba kepunyaanya. Tapi,
kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana Allah? Di mana
Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka karena
uang yang tidak halal bagiku.”
Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia menangis karena kecintaanya kepada Allah.
Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.
“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli seekor dombanya,” kata musafir tersebut.
Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi,
musafir itu memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda.
“Terimalah uang ini untukmu, anakku. Ini uang halal. Kau pantas
mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu mulia.” Sang musafir yang
tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke rumah
majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan
memerdekakannya dari status hamba sahaya.
Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.
Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut
kepada Allah tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu
dengan materi. Duniawi tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena
keteguhan iman yang hakiki.